BANDUNG - Upaya membangun atmosfer akademik di lingkungan UIN Sunan
Gunung Djati (SGD) Bandung, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Hadis
Fakultas Ushuluddin (FU) menggelar bedah buku the end of religion era
karya Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA, guru besar filsafat.
Bedah buku menghadirkan narasumber: Drs. Ahmad Gibson Albustomi,
M.Ag, (dosen filsafat), Dr. Wahyudin Darmalaksana, M.Ag (Dekan Fakuktas
Ushuluddin), Dr. Muhlas, S.Ag., M.Hum (Wakil III Bidang Kemahasiswaan, Alumni
dan Kerjasama), yang dipandu Dr. Masmuni Mahatma, M.Ag. di Aula Kopertais
lantai IV, Kampus I, Jl. A. H. Nasution No 105 Cipadung Cibiru Kota Bandung,
Selasa (08/10/2019).
Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Wahyudin Darmalaksana, M.Ag, sangat
mengapresiasi atas terselenggaranya kegiatan bedah buku the end of religion era
yang digelar HMJ Ilmu Hadis dalam rangka menciptakan kultur akademik yang
unggul, kompetitif dan mewujudkan Ushuluddin bergegas.
"Hari ini acara bedah buku sudah mulai ditinggalkan, menjadi
langka, tenggelam, bahkan terbawa arus laut. Seakan-akan bedah buku bukan
menjadi konsumsi publik. Berbeda dengan zaman Kang Gibson, Pa Muhlas, Masmuni,
kehadiran bedah buku sangat ditunggu-tunggu untuk membangun peradaban kampus,"
tegasnya.
Menurutnya, untuk mewujudkan Ushuluddin bergegas diperlukan ulasan
buku yang dilakukan oleh mahasiswa, dosen dalam bentuk esai yang dipublikasikan
pada jurnal terakreditasi dan bereputasi.
"Dalam konteks sekarang, riviu
buku the end of religion era karya soko guru ilmu pengetahuan,
pemikiran, cendekiawan di Ushuluudin sangat diperlukan. Caranya, keluaran dari
bedah buku ini harus dilanjutkan ke dalam bentuk tulis esai yang dilakukan oleh
dosen dan mahasiswa untuk dipublikasikan," paparnya.
Baginya buku the end of religion era menunjukan wabah agnotisme di
belahan dunia mana pun sebagai benih spiritualisme atheis (spirit tanpa Tuhan)
yang terus tumbuh dan berkembang. Agnotisme adalah pandangan filsafat bahwa ada
atau tidak adanya Tuhan sama saja tidak dapat jelaskan.
"Pertama, untuk sebagai orang buku ini sangat mengejutkan,
karena agama hari ini udahan. Era keberakhiran agama semakin nyata. Dalam
bahasa kaum milenial, aku, kamu agama, lewat. Meksipun memang sangat sulit
untuk mengekspresikan keterkejutan itu, tapi kita harus belajar berekspresi,
mengapresiasisi. Salah satu caranya dengan melakukan selfie bareng buku the end
of religion era, kemudian diposting di IG, medsos," jelasnya.
Kedua, tamparan bagi agama, sebab yang bukan dari agama justru
sedang mendapat dan diberi ruang, yaitu studi nilai dan studi spritual.
Sayangnya ruang ini bukan dimenangkan dari agama. Sebaliknya, justru yang bukan
dari agama telah meyumbangkan kontribusi konkrit.
"Ini tantangan untuk mengembangkan studi agama. Solusinya
adalah bagaimana agama sebagai institusi iman bisa diabatraksikan oleh dunia
akademik untuk menjadi nilai praktis dan sekaligus spirit yang konkrit,"
ujarnya.
Ketiga, original. Pada saat guru besar dituntut untuk memiliki
keberanian dalam mengeluarkan pernyataan yang berkaitan dengan keadaan sikap
keberagamaan di Indonesia buku ini hadir. "Hari ini, ketika kita mengebut
UIN Jakarta yang terkenal politiknya. UIN Yogyakarta dengan living hadisnya.
UIN SGD Bandung apa? Mudah-mudahan dengan adanya gagasan original dari guru
kita ini, dapat menagaskan identitas sikap keberagamaan yang dipandu oleh wahyu
atau wahyu memandu ilmu dalam kontek UIN SGD Bandung. Untuk itu, segala
tantangan masa depan Islam itu perlu kita rumuskan secara bersama-sama tentang
keimanan, nilai dan akhlak dalam menyebarluskan ajaran Islam yang sesuai dengan
semangat zaman," tegasnya.
Ahmad Gibson, menuturkan jika kita melihat sejarah fenomena
kematian agama di Eropa atas perkembangan sains dan teknologi yang dimulai dari
proses sekulerisasi, terjadinya pemisahan antara gereja dengan ilmu
pengetahuan.
"Pengalaman saya pada saat ke Amerika banyak gereja yang
diperjual belikan untuk tempat ibadah, pusat pembelanjaan, sarana olahraga
karena agama beserta gereja sudah mulai dititinggalkan jemaatnya. Oleh karena
itu, kematian agama menjadi sebuah keniscayaan," tegasnya.
Untuk dunia Islam mengalami hal yang sama, terlebih lagi pada saat
Ilmuwan dengan penguasa saling berhadapan. "Hari ini, fenomena menguatnya
keislaman semakin menegaskan identitas Islam. Hal ini bisa dilihat dari
tampilnya para penghagal Qur'an anak-anak yang menghiasi layar kaca.
Orang-orang berbondong-bondong daftar ibadah haji. Walaupun harus rela menunggu
sampai 10 tahun. Bertebaran gerakan keagamaan di media masa," ujarnya.
Dengan melihat kondisi seperti ini, kata Ahmad Gibson layakah kita
mempertanyakan masa depan Islam?
Padahal pengertian Islam sangat beragam, mulai dari merujuk pada
Qur'an, Hadis; memperlihatkan kesatuan umat, masyarakat sampai pada pemahaman
kita terhadap ajaran Islam, seperti yang ditampilkan para mubalig, wacana
keislaman.
"Ini semua menunjukkan identitas Islam. Kehadiran buku ini,
Prof Afif berusaha menjawab segala tuduhan yang dialamatkan kepada Islam, yang
menampilkan wajah radikal, keras,
mengajarkan peperangan, pembunuhan, berprilaku korup. Jika kondisi ini
yang terus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan ajaran Islam akan berakhir,
ditinggalkan umat manusia," tegasnya.
Padahal setiap ajaran agama, khususnya Islam selalu berpijak pada
misi utama, yaitu kasih sayang pada seluruh makhluk dan berusaha untuk
menyempurnakan akhlak.
"Sudahkah kita jadi pengedar sekaligus rahmah Allah dan
mendahulukan akhlah dalam menampilkan wajah Islam yang santun, ramah,
mengedepankan prinsip kemanusiaan," ujarnya.
Menurutnya, buku ini dengan segala bentuk takzim kepada pemikiran
Prof Afif dianggap tidak Istiqomah karena tidak tegas menyebutkan kematian
agama. "Selintas tidak konsisten, karena memunculkan borok, penyakit yang
dapat membawa kematin terhadap agama. Apalagi pada bagian awal membahas tentang
sejarah kematian agama di Eropa, tetapi pada bagian kedua, ketiga dan keempat
justru memberikan solusi, tawaran atas keberakhiran agama, khusunya ajaran
Islam agar tetap hidup, bertahan, berkembang dan tidak ditinggalkan umat,"
jelasnya.
Diakui, Muhlas bila dilihat dari pendekatan bahasa yang memberikan
kebermaknaan dan tidaknya suatu agama. Mengingat wajah agama akan selalu
menampilkan wujud asli dan bayangannya.
"Wajah asli agama itu terciptanya perdamaian, adanya harapan.
Sedangkan bayangan agama hadir menjadi ekslusif, buram, segala doktrin tidak
sesuai dengan zaman), tidak bisa mespon tuntutan zaman, tentang kemanusiaan,
perdamaian, lingkungan, sains dan teknologi," ujarnya.
Dalam tindakan bahasa agama akan sesuai bermakna manakala orang
yang punya otoritas keagamaan itu ketika melakukan sesuatu sesuai dengan
perkataannya.
"Tidak boleh membunuh, tapi dia sendiri memerintahkan untuk
melakukan peperangan atas dasar kebencian," tegasnya.
Untuk mempertegas semakin dekatnya kematian agama, Prof Afif
mengilustrasikan pohon ada yang mati karena tidak dirawat, dipelihara, diberi
pupuk, disiram pada saat musim kemarau. Juga ada yang ditebang pohonnya.
Sebagai contoh, ada ajaran agama yang mengabarkan bumi itu datar.
"Ini dibantah dengan temuan bumi itu bulat. Ketika anak lahir membawa dosa
turunan. Anggapan ini bisa dipatahkan dengan penemuan ketika manusia lahir
seperti kertas kosong dalam teori tabula rasa," jelasnya.
Ketika orang-orang Barat mulai lari dan meninggalkan agama untuk
beralih ke sains, ilmu pengetahuan, teknologi. "Justru untuk agama Islam
dalam contoh tadi memperkuat ajaran Islam yang sejalan beriringan dengan sains,
ilmu pengetahuan, teknologi, seperti bumi itu bulat dan berputar serta anak
yang baru lahir itu suci," sambungnya.
Apalagi pada saat fungsi agama tidak memberikan kepastian, harapan
dan masa depan, maka semakin ditinggalkan. Misalnya dalam membangun karakter,
kejujuran, bisa dilakukan melalui manajemen, personalia.
Buku ini dibagi menjadi empat bahasan. Pertama, the end of religion
era. Menceritakan tentang bagaimana awalnya agama di bumi. Kondisi pada abad
kegelapan, hingga cara menakar nilai-nilai agama Islam dalam diri kita dan
kondisi keberagamaan di era milenial.
Kedua, refleksi meraih ikhlas. Tentang bagaimana proses fathu
Mekkah, persepsi jihad, ijtihad dan mujahadah, muhasabah, berkolusi dengan
Allah, ikhlas dan sunatulloh.
Ketiga, refleksi atas masalah ibadah. Menceritakan tentang
kebiasaan-kebiasaan umat dalam beribadah, bahkan ada yang tidak merasakan
ketenangan dalam hati saat beribadah.
Keempat, refleksi membangun umat. Menceritakan perjalanan,
perkembangan Islam di Indonesia, sejak masa penjajahan hingga perkembangan
Islam yang tidak bisa lepas dari pengaruh perjalanan para penduduk Indonesia
yang melaksanakan ibadah haji, Setya perkembangan jumlah dan cara mereka
melakukan ibadah dari zaman penjajahan hingga kini.
Sebagai contoh sederhana kata Prof Afif, agama melarang berbuat
korupsi. "Akan tetapi umatnya tidak mau, malah jadi koruptor. Untuk di
Indonesia yang semakin banyak pemimpin yang korup. Jangan KPK. Wong Tuhan tidak
ditakuti. Jadi terus tumbuh subur perilaku korupsi ini," keluhnya.
Jika melihat perilaku pemimpin yang tidak adil, korup, lalim,
umatnya malah mengikuti, maka dapat dipastikan Islam akan ditinggikan, mati,
seperti pohon yang tidak disiram, diberi pupuk.
Dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, apakah 87 persen
muslim itu dapat menyumbangkan kemacetan, ikut memberantas korupsi.
"Saya suka jengkel dengan para koruptor yang hafal Qur'an,
bahkan pengadaan Qur'an dikorup. Dengan begitu, ajaran Islam tidak bisa
memberikan warna, malah diwarnai. Oleh karena itu, perilaku kita lebih seluler
dari pengertian lain. Inilah benih-benih kematian agama," pungkasnya.[rls/IS]
Sumber dan foto Humas UIN SGD
Bandung
No comments
Post a Comment