BANDUNG - Upaya mengembangkan jati diri Ki Sunda, Jurusan Sejarah
Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati
Bandung menggelar International Conference on Sundanese Cultute (ICON-SC) di
Aula Utama FAH, lantai IV, Kampus I, Jl. A. H. Nasution No 105 Cipadung Cibiru
Kota Bandung, Kamis (14/11/2019).
Sejumlah narasumber yang hadir diantaranya, Vivek Neelakantan
(Indian Insitute of Technology), Prof. Hans Pols (psikiater dari University of
Sidney, Australia); Dr. Nurul Istiqomah (Asisten Deputi Menko Kemaritiman) Dr.
Anwar Sanusi (Wakil Dekan III Fakultas Adab, Ushuludin dan Dakwah IAIN Syekh
Nurjati Cirebon), Dr. Ajid Thohir, Moeflich Hasbullah, Dr. Asep Ahmad Hidayat,
M.Ag, Dr. H. Ading Kusdiana, M.Ag. (UIN SGD Bandung) yang dipandu Mahbub
Hefdzil Akbar, MA.
Acara Konferensi Internasional dari rangkaian Pekan Ilmiah (PIM) IV
dibuka secara resmi oleh Dekan FAH, Dr. H. Setia Gumilar, M.Si ini merupakan
salah satu upaya menyiapkan lulusan FAH yang unggul dan kompetitif dalam kajian
adab dan humaniora yang berbasiskan pada khazanah budaya lokal.
Menurut Toynbee, sebuah entitas kebudayaan, mengalami kehancuran
karena tidak mampu lagi merespon tantangan-tantangan (challenges) zamannya.
Dengan melihat kebudayaan dalam perspektif fungsional yaitu sejauh manakah
kebudayaan sebuah masyarakat fungsional terhadap lingkungannya. Kebudayaan yang
tidak fungsional akan mengalami krisis, terseret ke pojok-pojok sejarah dan
suatu saat akan menghilang dari pusaran peradaban.
Seperti dalam tulisan Moeflich Hasbullah tentang Kebudayaan Sunda
Diambang Kepunahan dijelaskan proses modernisasi dan globalisasi pada zaman
sekarang ini menjadi tantangan serius yang menerjang daya survival entitas
sebuah kebudayaan, khususnya kebudayaan Sunda.
Bangsa yang besar pasti tidak akan melupakan sejarah dan
meninggalkan kebudayaan lokalnya. Oleh karena itu, mengkaji sejarah bukan hanya
masa lalu saja, tapi harus berimbas pada konteks kekinian. “Untuk Jawa Barat,
bukan hanya kesundaan masa lalu yang dikaji, tapi dari segi budaya, politik
harus dipahami, sehingga keberadaan khazanah lokal itu bisa memberikan spirit
dan berusaha diimplementasikan pada konteks kekinian dan masa yang akan
datang,” tegasnya.
Agar budaya sunda bisa tetap eksis di era revolusi industri 4.0,
“kita dituntut untuk berusaha mewartakan, menginformasikan sejumlah khazanah
budaya sunda dalam konteks kekinian, sehingga segala kehawatiran tidak ada
pengakuan dari pihak publik, negara tentang kajian khazanah sunda. Buktinya
kajian sunda soal historiografi sangat miskin,” paparnya.
Dekan FAH, menegaskan hubungan Islam dengan kearifan lokal ini
sangat harmonis, saling melengkapi satu sama lain. Dalam konteks Jawa Barat
hubunganya sangat erat dan tidak bisa dipisahkan karena Islam itu Sunda dan
Sunda itu Islam. "Dengan adanya hubungan yang harmoni ini menjadikan
khasan Fakultas dalam mempertegas identitas budaya Islam Sunda,” tegasnya.
Prof. Hans menuturkan kaum intelektual memberi sentuhan dan warna
dalam proses diseminasi wawasan kebangsaan. Sejak zaman kolonial, peran ini
salah satunya ternyata melekat dalam diri para dokter pribumi, (dokter-dokter
Hindia Belanda). Untuk itu, peran para dokter ini di bidang kebangsaan
mendominasi dari sejak awal kesadaran kebangsaan sampai dengan masa Orde Baru.
Melalui sekolah dokter STOVIA di Batavia dan NIAS di Surabaya, yang
kelak menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool), mereka tak
hanya berkanjang dalam bidang kesehatan, melainkan juga masuk ke ranah
pergerakan kemerdekaan. Selama ini kita lebih mengenal Boedi Oetomo sebagai
pahlawan pergerakan nasional, daripada seseorang yang lahir dari rahim
pendidikan dokter profesional. Mereka ikut bergumul dalam masa-masa krisis pada
awal lahirnya Republik ini.
Berdirinya Boedi Oetomo juga mengilhami dokter-dokter dari suku
lain untuk membentuk organisasi-organisasi pelajar yang bersifat kedaerahan.
Misalnya Tengkoe Mansoer mendirikan Jong Sumatranen Bond, Djabangoen Harahap
mendirikan Jong Batak, Tom Kandau mendirikan Asosiasi Pelajar Minahasa.
Sistem pemondokan untuk para mahasiswa kedokteran telah membuat
hubungan antar Angkatan begitu erat. Angkatan yang lebih tua menjadi mentor
bagi angkatan berikutnya. Model ini membuat mereka mempunyai pengalaman ikatan
multi-etnis dan lepas dari ikatan-ikatan tradisional. Model inilah kemudian
yang menyuburkan perasaan kebangsaan di kalangan mahasiswa sekolah kedokteran
Jawa.
Dr. Ajid menguraikan tentang tradisi dan dinamika sufisme dalam
masyarakat Sunda. Paling tidak ada tiga wilayah Sunda dan sufisme terdapat di
Banten, Cirebon dan Sumedang.
Untuk pusat pergerakan sufisme dan tarekat di Tatar Sunda antara
abad 16-18 itu dimulai dari Karawang Syekh Quro, Cirebon Kesultanan; Banten
Kesultanan; Qodiriyyah dan Rifaiyyah, Pamijahan Syekh Abdul Muhyi; Qodiriyyah
dan Syatariyah sampai munculnya pondok-pondok Pesantren di berbagai pedalaman
Sunda.
Dalam catatan kolonialisme tentang Tarekat kita dapat menemukannya
pada; pertama, tanggal 5 September 1886 KF. Holle yang berdomiisili di Bandung,
sebagi penasehat Kehormatan Urusan Bumi Putra, memandang bahaya bangkitnya
tarekat sufi sebagai amalan keagamaan. Kedua, Cianjur sebagai wilayah
penyebaran Naqsyabandiyyah, diduga sejak masa Dalem Cikundul, telah menyebar
pada seluruh Pamong Praja pegawai kolonial.
Ketiga, Hubungan antara tarekat dan militansi keagamaan akan
berdampak pada politik antikolonial. Keempat, Sartono Kartodirdjo dalam protes
movement in rural Java, mencatat berdasarkan kontrolir Belanda ada ratusan
kerusuhan di berbagai perkebunan Belanda. Kelima, Pemberontakan Petani Banten
adalah puncak bagaimana konsolidasi religio-politik tarekat begitu massif dan
solid.
Untuk pergerakan sufisme abad 19-20, Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah
1887-an di Banten, Bogor, Cirebon, Tasikmalaya. Tarekat Idrisiyyah Tasikmalaya
1932 Syekh Abdul Fatah (1924-1932) dari Sayyid Syarif al-Sanusiyyah. Tarekat
Tijaniiyyah Garut 1935 Syekh Badruzzaman, Syekh Usman Domiri Bandung Cimahi.
"Dengan adanya poros-poros tarekat di Jawa Barat menunjukan
kuat pengaruh tarekat dalam menjakankan kehidupan. Sebagai contoh, tarekat Al-Idrisiyyah
berusaha menawarkan konsep entrepreneur sufi. Caranya dengan membuat toko
serbaada Qinimart, peternakan dan pertanian inovatif, warung kuliner, rumah
makan dan membentuk BMT. Dalam urusan politik, hamper setiap calon pemimpin
berusaha mendatangi kelompok tarekat baik di Tasik, Garut untuk meminta doa
restu,” jelasnya.
Menurutnya, gerakan dakwah sufisme di Tatar Sunda menemukan titik
kesamaan dengan konsep kosmologi masyarakat Sunda, Tri Tangtu dan Puncak Alam.
"Sufisme di Tatar Sunda mengalami dinamika yang unik, dari
mulai membangun kesadaran spiritual keagamaan, seni budaya, pemikiran tehosofi,
sebagai gerakan politik antikolonilisme. Hingga kini sufisme tempat menjadi
tumpuan politik para politisi dalam mencari legitimasi politik. Restu kekuasaan
secara simbolik diperoleh dari para sufi," ujarnya
Mengenai proses kristenisasi di Sunda sebagai warisan kolonial,
Moeflich menjelaskan Islamisasi di tanah Sunda diawali kegiatan perguruan agama
Islam di bawah asuhan ulama pendatang, seperti Syekh Quro di Karawang, Syekh
Nurjati, Syekh Datuk Kahpi, dan kemudian Sunan Gunung Jati Cirebon, Maulana
Hasanuddin di Banten, Syekh Abdulmuhyi di Pamijahan (Tasikmalaya), Syekh Arif
di Cangkuang (Garut), Sunan Godog di Suci (Garut), Sunan Cikadueun di Pandeglang,
Aria Wangsagoparana di Sagalaherang (Subang). Lokasi dan peninggalan kegiatan
mereka dianggap keramat dan banyak diziarahi orang hingga sekarang.
Setelah kuatnya Islam meresap ke dalam masyarakat dan kebudayaan
Sunda itu menjadi identitas keagamaan yang kuat, kedatangan kolonial sejak abad
ke-16 (Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda) tak bisa dihindari membawa misi
kristenisasi yang kuat melalui Progam 3G seperti ditulis oleh Louis B. Wright,
Gold, Glory and the Gospel (1970).
"Padahal di Nusantara, islamisasi dan kristenisasi adalah
persaingan antara para ulama dan pejabat kolonial untuk menyebarkan paham,
pengaruh dan agamanya masing-masing," paparnya.
Sunda itu Islam
Schrieke menjelaskan teori tentang persaingan antara Islam dan
Kristen di Nusantara yang disebut sebagai “race thoery” (teori balapan). “Tidak
mungkin memahami penyebaran Islam dan Kristen di Nusantara bila tidak
memperhitungkan konflik, persaingan dan permusuhan antara orang-orang Islam
dengan bangsa Portugis dan Belanda,” tandasnya.
Di Sunda, sejak abad ke-19, mulai hadir misi Kristen dan Katolik
yang ditopang bantuan pemerintah Belanda menyebarkan agama baru di kalangan
penduduk. “Tetapi, sangatlah menarik” kata Ajip Rosidi, “selama lebih dari 100
tahun, agama Kristen dan Katolik ini tidak banyak berkembang di kalangan orang
Sunda”.
Sejak era pra-kolonial hingga era modern, Sunda adalah etnis besar
kedua di Indonesia dengan ciri khas integrasi Islam-Sundanya yang kuat. Pada
pertengahan abad ke-20, relatif 95% masyarakat Sunda sudah menerima Islam
sebagai agama mereka. Tahun 1968, Endang Saifuddin Anshari menyatakan, “Islam
teh Sunda, Sunda teh Islam.” “Sunda mah geus Islam samemeh datangna Islam”
(Sunda itu sudah Islam sebelum datangnya Islam).
"Sebagai etnis penting di Pulau Jawa yang keislamannya kuat
itu, pada era modern, Sunda menjadi sasaran dan target kristenisasi dari lembaga-lembaga
penginjil sebagai pelanjut kristenisasi era kolonial," jelasnya.
Untuk menjadikan budaya Sunda sebagai identitas, kata Dr. Asep
perlu kesadaran dan komitmen bersama untuk mencintai, menjaga, memelihara
budaya Sunda. Kuatnya pengaruh zaman kolonial terhadap budaya Sunda tidak hanya
dilihat dari praktik politik balas budi, tetapi bisa dilihat dari bahasa
sehari-hari yang kita gunakan seperti dipermak, irigasi, imigrasi, edukasi,
sekolah.
"Kita lihat dari penggunaan bahasa antara jajahan Belanda
dengan Inggris. Jika Inggris mewajibkan untuk menggunakan bahasanya, maka
Belanda tidak. Apalagi pada saat masuk ke Indonesia bahasa yang telah digunakan
dan kuat adalah bahasa Melayu," ujarnya.
Bagi Amung Ahmad Syahir Muharram, M.Ag., Ketua pelaksana Konferensi
Internasional menegaskan tradisi lama yang mengandung kearifan lokal
(local-genius), semakin kuat setelah berasimilasi dengan ajaran Islam.
Diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena di antara keduanya
mempunyai persamaan paradigmatik. Islam memandang dan memahami dunia sebagai
ungkapan azas-azas mutlak dan terekam dalam wahyu Allah.
Sedangkan kebudayaan Sunda lama meletakkan nilai-nilai mutlak yang
kemudian diwujudkan dalam adat beserta berbagai upacaranya. "Ungkapan
Sunda Islam dan Islam nyunda dibuktikan oleh sebuah kenyataan bahwa sebagian
besar orang Sunda memeluk agama Islam, dan menjadikan Islam
sebagai salah satu ciri jati diri," pungkasnya.(rls/IS)
No comments
Post a Comment