JAKARTA
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan,
dinilai Ketua Umum Generasi Peduli
Anti Narkoba (GPAN) Brigjen Pol P Adv Drs Siswandi, sangat tidak mendidik
masyarakat. Pihaknya sangat mendukung saat Ketua MA, Dr. Hatta Ali, SH, MH,
memerintahkan membatalkan SEMA 2/2020 tersebut.
Seperti
diketahui, demi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah serta trial by the press dan tata tertib di ruang persidangan,
Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata
Tertib Menghadiri Persidangan.
Salah
satu poin yang menotok para wartawan terutama tentang tata tertib umum. SE itu
menyatakan, “Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan.” Padahal, sesuai KUHAP, setiap persidangan
terbuka untuk umum.
Disadur
dari laman minews.id bahwa prinsip ini disebut juga dalam Pasal 153 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Untuk
keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak.”
Ketua
Umum GPAN Brigjen Pol P Adv Drs Siswandi kepada pers Jumat (28/02/2020) berpendapat,
"Kebijakan Yang Mulya Ketua MA (Mahkamah Agung) memerintahkan membatalkan Surat
Edaran tahun 2020 adalah kebijakan yang sangat populis dan sangat kontributif
dalam menciptakan sistem peradilan yang jujur, amanah, obyektif dan normatif.
Melalui
surat terbuka yang ditujukan kepada Ketua MA Dr. Hatta Ali, SH, MH, Ketum GPAN itu
bertutur mengenai pengalamannya dalam perkara narkotika.
"Saya
punya pengalaman selaku ketua umum GPAN dalam perkara narkotika. Ketika
peristiwa atau hal apa saja yang terjadi di ruang persidangan tetap bermanfaat
jika secara utuh dipublis ke publik. Akan menjadi berita menarik dan menjadi
ajang pembelajaran ketika saya mengikuti sidang dalam perkara narkotika sangat
ingin seluruh penjelasan di ruang persidangan dipublis secara luas," papar
Siswandi.
Khusus
di Pengadilan Negeri di wilayah DKI Jakarta, misalnya, sebagai Penggiat Anti
Narkoba Siswandi mengaku prihatin karena masih banyak pecandu dan pengguna
narkoba yang mendapat perlakuan hukum tidak semestinya.
"Singkatnya,
sistem peradilan kita belum mampu membedakan antara penyalahguna yang berdimensi
kriminal dan korban penyalahguna bagi dirinya sendiri alias pecandu,"
tandas Siswandi.
Menurutnya,
sebetulnya sangat mudah tatkala fakta dalam persidangan seperti berikut ini:
a.
Terdakwa memiliki Narkoba hanya untuk dipakai sendiri;
b.
Hasil Test Urine Positif;
c.
Barang Bukti (BB) dibawah Surat Edaran MA.
Ini
perlu diselamatkan seperti putusannya direhabilitasi, bukan dipenjara. Kasus
sangat Kontradiktif seperti Tyo Pakusadewo vonis rehabilitasi, kasus Nunung yang
divonis rehabilitasi, Ridho Roma hasil vonis PN rebabilitasi banding vonis PT rehabilitasi,
tetapi Kasasi Keputusan MA jadi dipenjara.
Dalam
surat terbuka tersebut, Siswandi memungkas ucapannya, "Salam hormat,
semoga insan pers lebih gairah menyajikan informasi dan berita langsung dari
ruang persidangan".[isur]
No comments
Post a Comment