INTRONEWS
- Awal pekan ini terjadi kehebohan yang luar biasa, dalam tiga hari saja
Pengadilan Agama Soreang Kab. Bandung diserbu 500-an para istri yang hendak
mengajukan gugat cerai, sebagiannya kalangan suami. Mereka bahkan sampai antri
lantaran ruang sidang sangat terbatas.
Informasi terakhir, data nyata
menunjukan ribuan pasutri berakhir di pengadilan agama Soreang. Kasus ini
mengundang perhatian publik. Bahkan, Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum di salah
satu TV swasta nasional. Kasus ini pun terjadi di banyak Pengadilan Agama di Jawa Barat termasuk daerah lainnya di Indonesia,
Terlepas dari bagaimana mereka
bisa berakhir di Pengadilan Agama untuk gugat cerai, seorang dosen yang
juga pakar dalam bidang Hukum Keluarga UIN SGD Bandung, Ramdani Wahyu Sururie
mengupas inti dari akar persoalan itu. Katanya, kasus ini akibat pasangan suami
isteri yang kurang faham terhadap tujuan perkawinan.
Berikut penjelasan detail dari Ramdani Wahyu Sururie:
Dosen Pascasarjana Prodi Hukum Keluarga UIN SGD Bandung
dan Pembina pada Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Mitra Keluarga
Sejak viral pemberitaan di media
sosial, media cetak dan elektronik tentang antrean ibu muda ajukan cerai di
Pengadilan Agama, demikian pula Tribun Jabar menjadikan head line terbitan
Selasa, 25 Agustus 2020 dengan judul “Ribuan Isteri Gugat Suami” dan koran
Pikiran Rakyat Edisi Rabu, 26 Agutus 2020 “Perempuan Lebih Berani Ambil Keputusan
Cerai” menunjukkan bahwa ketahanan perkawinan dalam keluarga muslim khususnya
sangat rapuh.
Berdasarkan studi mutakhir tentang
penyebab perceraian dalam keluarga muslim khususnya, faktor ekonomilah yang
paling dominan menjadi pemicu retaknya ikatan perkawinan. Di Jawa Barat
misalnya, sepanjang 3 tahun terakhir, yakni 2017-2019 jumlah perceraian dengan
sebab ekonomi terus meningkat dibanding dengan sebab lain seperti tidak ada
keharmonisan dan tidak ada tanggungjawab.
Ancaman krisis ketahanan perkawinan pada
masa pandemi ini akan semakin meningkat karena penyebab putusnya perkawinan
didominasi oleh faktor ekonomi. Pada banyak kasus perkara yang diajukan ke
pengadilan agama, variasi perceraian dengan sebab ekonomi ditunjukkan dengan
ketidak cukupan biaya hidup (menafkahi namun tidak cukup) dan tidak menafkahi
sama sekali karena tidak bekerja akibat PHK. Data terakhir yang dirilis
Kemenakerstran pada awal Agutus ini mencapai 3.5 juta orang di-PHK dan
dirumahkan akibat pandemi covid. Jelas ini menjadi ancaman yang serius bagi
kelangsungan keluarga di Indonesia.
Fenomena rapuhnya ketahanan perkawinan
yang diajukan ke pengadilan agama setidaknya menunjukkan tiga hal, yaitu Pertama,
visi perkawianan dalam kelurga muslim khususnya kurang terinternalisasi dengan
baik pada pasangan suami isteri. Pasangan suami isteri kurang memahami esensi
dari tujuan perkawinan. Visi perkawinan yang sejatinya terbina keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah hanya angan-angan belaka. Di awal pernikahan, hubungan
sebagai suami isteri cukup bahagia, memasuki tahun-tahun berikutnya konflik
suami isteri mulai muncul dengan berbagai sebab yang tidak bisa diselesaikan
dengan baik oleh suami isteri sehingga berdampak pada perselisihan terus
menerus.
Kedua, gaya hidup yang menuntut ekonomi
pasangan mesti mapan. Beberapa perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan
agama dengan sebab ekonomi, ditunjukkan dengan suami memberi nafkah namun
kurang sehingga menimbulkan ketidakpuasan diantara mereka.
Ketiga, gaya komunikasi antar pasangan
yang buruk sehingga mudah menimbulkan salah faham diantara mereka.
Krisis ketahanan perkawinan dalam
keluarga yang ditandai dengan perceraian akan menambah beban ekonomi dan
emosional anggota-anggota keluarga. Profil keluarga yang bercerai dilihat dari
segi usia berdasarkan data-data di pengadilan agama didominasi oleh pasangan
yang berusia 30-40 tahun. Artinya, pada keluarga-keluarga yang bercerai sedang
memasuki masa pengasuhan anak. Jika ini terus berlanjut, maka akan terjadi single
parent dan pengasuhan anak akan menimbulkan masalah. Kehidupan anak yang
bermasalah akan berdampak pada kondisi selanjutnya, seperti anak akan terlibat
narkoba, tawuran, kriminalitas dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang akan
menambah beban aparatur negara.
Alternative Solusi
Apa yang bisa dilakukan ditengah pandemi untuk
menyelamatkan ketahanan perkawinan sehingga tidak menimbulkan efek sosial
lanjutan. Jelas, rumusan tindakannya mesti dilakukan secara konprehensif dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Yang pertama, kebijakan pemerintah
pusat dan daerah dalam memberikan bantuan sosial di tengah pandemi berupa uang
maupun sembako jumlahnya dan besarannya perlu ditingkatkan. Hal ini didasari
oleh pemikiran bahwa ketahanan ekonomi keluarga mesti terus dikuatkan agar
tidak menambah deretan keluarga yang bercerai dengan sebab ekonomi. Di
lapangan, masih ditemukan penerima bansos ini belum merata dinikmati oleh
keluarga.
Kedua, relaksasi pinjaman dan kemudahan kredit dari
lembaga keuangan untuk keluarga-keluarga yang terdampak PHK lebih dipermudah
proses pengajuan dan pencairannya. Ketiga,
keterlibatan civitas akademika melalui dharma pengabdian kepada masyarakat
untuk mengedukasi tentang managemen keuangan keluarga sangat urgen dalam rangka
meningkatkan keilmuan tata kelola keuangan keluarga. Kampus dapat ambil bagian
dengan berbagai pola, misalnya dengan kegiatan KKN mahasiswa, edukasi secara
daring maupun webinar. Sejauh ini, langkah penguatan menagemen keuangan
keluarga yang dilakukan oleh kampus melalui kegiatan pengabdian kepada
masyarakat masih minim.
Keempat, pendidikan pra nikah mesti
ditingkatkan kualitasnya di masa pandemi. Calon pengantin yang akan memasuki
jenjang perkawinan mesti dibekali tentang filosofi dan hukum-hukum perkawinan
selain tentang pengetahuan reproduksi. Langkah ini dimungkinkan sangat membantu
calon suami dan isteri agar ketika mereka
menikah visi dan tujuan mereka menikah sudah baik. Selain itu, dalam
pendidikan pra nikah mesti diajarkan cara menangani konflik yang terjadi dengan
pendekatan win-win solution.
Ke lima, peran orang tua dalam
menyiapkan anak untuk menjadi suami dan isteri sejak dini. Pendidikan pra nikah
dalam keluargapun mesti dikuatkan dan dilembagakan oleh orang tua. Misalnya, melatih
anak laki-laki untuk bertanggungjawab, melatih anak untuk mensyukuri rezeki,
melatih anak menyelesaikan masalahnya sendiri, menyiapkan anak perempuan untuk
menjadi pendamping kepala keluaga dan pendidikan agama yang kokoh.
No comments
Post a Comment